Thursday, April 28, 2011

Urban Governance

Menyangkut Urban Governance, tanggung jawab top manajemen ya memang dituntut. Soal siapa yang "salah", itu lain. Kalau setelah diteliti policy benar, SOP benar dst, ternyata "operator/masinis/pilot" yang salah. Ya. operator yang disalahkan.

Sekali lagi ini saya yang awam mencoba memahami situasi secara logis (logika saya). Governance menyangkut pemerintah, stakeholders swasta, warga, berbagai organisasi warga, parpol dst. Ada hal yang universal yaitu: persaingan mencantumkan tujuan, kepentingan dan berebut resources.

Di masa Orba ada pihak yang sangat kuat yaitu pemerintah, maka seolah masalah perebutan tujuan, kuasa, perebutan resources tidak terjadi. Sebetulnya ada, tapi di internal pemerintah, tidak terbuka. Ada pemimpin yang kuat, sehingga soal ke(tidak)terpaduan dengan pihak non-pemerintah relatif bukan persoalan. Atau muncul di permukaan. Walaupun kasak-kusuk juga banyak. Juga untuk perebutan resources tak jelas: pemerintah ngatur swasta, atau swasta ngatur aturan melalui pejabat-pejabat ttt. Memasuki masa reformasi dan selanjutnya, "penguasa tungal" tak ada (nyata), sehingga konflik antar kelompok itu menjadi (tampak) nyata di masyarakat. Media boleh meliput hampir sesuka sudut pandangnya (intelek boleh, vulgar bisa).

Tapi intinya, secara universal, sepanjang usia manusia - dari Habil dan Qabil (Kane & Abel) perebutan, persaingan, konflik dengan berbagai manifestasinya selalu terjadi kan.

Pada masa kini, karena keterbukaan dan multi-partai itu, maka persaingan, saling menjatuhkan (mendiskreditkan) antar pihak menjadi "terbuka".

Mungkin kita perlu melihat kasus BLBI, Century, Pajak, money laundering, dst dari kacamata governance (manajemen pemerintahan + dinamika stakeholders) dulu supaya bisa dijelaskan atau diurai anatomi persoalannya. Upaya penjelasan ini sebaiknya pakai terminologi manajemen/pemerintahan dulu, jangan pakai term "memihak, menghakimi".

Tapi kemudian kalau perlu pakai juga kacamata "politik", atau konflik kepentingan antara individu, kelompok, partai dst.
Pertanyaan kunci: Tujuan/kepentingan APA yang sedang beradu? Resource apa yang
diperebutkan? SIAPA yang sesungguhnya berkonflik? (Kadang berita bisa mengaburkan SIAPA yang sesungguhnya berkonflik? Kalau dalam konflik ini melibatkan mobilisas massa besar, wacana media-media tendensius - tanya UANGnya dari mana? SIAPA yang nyeponsori?

Soal SIAPA yang berkonflik ini memang sering oleh ditulis "implisit", karena kalau tak punya kepentingan biasanya karena takut. Tapi media seperti Tempo termasuk berani menulis eksplisit, SIAPA (termasuk nama pribadi) yang ada dalam konflik-konflik, walaupun kadang ditulis pada topik yang beda, tapi pembaca yang perhatian tentu mengamati nama-nama dibalik setiap konflik (BLBI, Century, Pajak, dst)

Kesimpulan saya, untuk memahami situasi aman sekarang sebaiknya kita coba memahaminya dari dua perspektif: (1) perspektif manajemen/pemerintahan; (2)perspektif politik.

Kembali ke Planning, proses teknis/teknokratis merencana kita lakukan/kaji.
Lalu, proses birokrasinya sesuai mekanisme yang digariskan UU/PP/Permen atau Tupoksi, SOP kita kerjakan/kaji. Tapi jangan lupa, ada proses Politik. Ini pilihan: mau sampai kesitu atau tidak?

Kalau mau menggiring sampai proses politik, sedihnya, terminologinya ya: kompetisi, kolaborasi, menangi, rebut, nego, barter, taktik bunglon, buaya, dst. Sejauh pandangan awam saya sepertinya ini bahasa mereka. Sehingga kalau kita terapkan logika "manajemen/pemerintahan, etika umum" kayaknya capek kita. Mungkin itu "sisi buruk dari kemanusiaan" yg universal sepanjang masa(?). Siapa yang tahu? [Risfan Munir, Scenario Planning writer]

No comments:

Post a Comment