Thursday, April 28, 2011

Time Dimension of Planning

Pertanyaan soal time-frame? Anda menggabungkan pertanyaan untuk tgjawab
kontraktor bangunan dengan tgjwb planning berjangka panjang?

Kalau soal konstruksi lebih jelas aturannya, Anda yang di-PU tentu lebih tahu.
Dan, kayaknya yang 3-5 th itu yang kontraktor harus menjamin (liability) seperti
kalau mobil s/d 1000km. Kalau ada apa2 di masa itu, wajib ganti. Tapi dalam
jangka panjang, walau tak wajib mengganti, tapi secara moral, tanggungjawab
(responsibility) profesional ada. Pengertiannya lebih luas.

Saya pikir mesti dibedakan antara wajib (liability) ganti, dengan tanggung-jawab
(responsibility) yang pengertiannya lebih luas, dan tidak selalu berarti
"mengganti", karena banyak faktornya.

Dalam konteks itu pula barangkali dalam melihat tanggungjawab ttg RPJP, dengan
berbagai nama dan variasinya. Perencanaan wilayah dan kota, kita tahu berdimensi
sos-ek-link-(pol), dimana setiap faktor dari dimensi2 ini zaman sekarang sulit
diramal. Yang paling eksak katanya veriabel ekonomi. Ini pun sekarang
unpredictable. Iklim pun sekarang unpredictable. Tantangan bagi perencana
berjangka menengah, apalagi jangka panjang.

Bicara liability perencana PWK, kalau kita memforecast betul2, tentu kita sadar
bahwa asumsinya banyak sekali. Gugur satu asumsi, maka gugur pula liability (?)
Teorinya begitu, dalam praktik? Juga apakah kita tulis secara eksplisit
asumsi-asumsi tersebut. (Risfan Munir, scenario planning analyst)

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Urban Governance

Menyangkut Urban Governance, tanggung jawab top manajemen ya memang dituntut. Soal siapa yang "salah", itu lain. Kalau setelah diteliti policy benar, SOP benar dst, ternyata "operator/masinis/pilot" yang salah. Ya. operator yang disalahkan.

Sekali lagi ini saya yang awam mencoba memahami situasi secara logis (logika saya). Governance menyangkut pemerintah, stakeholders swasta, warga, berbagai organisasi warga, parpol dst. Ada hal yang universal yaitu: persaingan mencantumkan tujuan, kepentingan dan berebut resources.

Di masa Orba ada pihak yang sangat kuat yaitu pemerintah, maka seolah masalah perebutan tujuan, kuasa, perebutan resources tidak terjadi. Sebetulnya ada, tapi di internal pemerintah, tidak terbuka. Ada pemimpin yang kuat, sehingga soal ke(tidak)terpaduan dengan pihak non-pemerintah relatif bukan persoalan. Atau muncul di permukaan. Walaupun kasak-kusuk juga banyak. Juga untuk perebutan resources tak jelas: pemerintah ngatur swasta, atau swasta ngatur aturan melalui pejabat-pejabat ttt. Memasuki masa reformasi dan selanjutnya, "penguasa tungal" tak ada (nyata), sehingga konflik antar kelompok itu menjadi (tampak) nyata di masyarakat. Media boleh meliput hampir sesuka sudut pandangnya (intelek boleh, vulgar bisa).

Tapi intinya, secara universal, sepanjang usia manusia - dari Habil dan Qabil (Kane & Abel) perebutan, persaingan, konflik dengan berbagai manifestasinya selalu terjadi kan.

Pada masa kini, karena keterbukaan dan multi-partai itu, maka persaingan, saling menjatuhkan (mendiskreditkan) antar pihak menjadi "terbuka".

Mungkin kita perlu melihat kasus BLBI, Century, Pajak, money laundering, dst dari kacamata governance (manajemen pemerintahan + dinamika stakeholders) dulu supaya bisa dijelaskan atau diurai anatomi persoalannya. Upaya penjelasan ini sebaiknya pakai terminologi manajemen/pemerintahan dulu, jangan pakai term "memihak, menghakimi".

Tapi kemudian kalau perlu pakai juga kacamata "politik", atau konflik kepentingan antara individu, kelompok, partai dst.
Pertanyaan kunci: Tujuan/kepentingan APA yang sedang beradu? Resource apa yang
diperebutkan? SIAPA yang sesungguhnya berkonflik? (Kadang berita bisa mengaburkan SIAPA yang sesungguhnya berkonflik? Kalau dalam konflik ini melibatkan mobilisas massa besar, wacana media-media tendensius - tanya UANGnya dari mana? SIAPA yang nyeponsori?

Soal SIAPA yang berkonflik ini memang sering oleh ditulis "implisit", karena kalau tak punya kepentingan biasanya karena takut. Tapi media seperti Tempo termasuk berani menulis eksplisit, SIAPA (termasuk nama pribadi) yang ada dalam konflik-konflik, walaupun kadang ditulis pada topik yang beda, tapi pembaca yang perhatian tentu mengamati nama-nama dibalik setiap konflik (BLBI, Century, Pajak, dst)

Kesimpulan saya, untuk memahami situasi aman sekarang sebaiknya kita coba memahaminya dari dua perspektif: (1) perspektif manajemen/pemerintahan; (2)perspektif politik.

Kembali ke Planning, proses teknis/teknokratis merencana kita lakukan/kaji.
Lalu, proses birokrasinya sesuai mekanisme yang digariskan UU/PP/Permen atau Tupoksi, SOP kita kerjakan/kaji. Tapi jangan lupa, ada proses Politik. Ini pilihan: mau sampai kesitu atau tidak?

Kalau mau menggiring sampai proses politik, sedihnya, terminologinya ya: kompetisi, kolaborasi, menangi, rebut, nego, barter, taktik bunglon, buaya, dst. Sejauh pandangan awam saya sepertinya ini bahasa mereka. Sehingga kalau kita terapkan logika "manajemen/pemerintahan, etika umum" kayaknya capek kita. Mungkin itu "sisi buruk dari kemanusiaan" yg universal sepanjang masa(?). Siapa yang tahu? [Risfan Munir, Scenario Planning writer]

Friday, April 15, 2011

Tsunami, Reaktor bocor, Ulat bulu, lalu ...

Reformasi tak tentu arah. Demokrasi jadi urusan gedung dewan. Krisis keuangan negara adidaya. Kebangkitan China dan defisit dagang ACFTA. Gelombang demokrasi di Timteng. Tsunami Jepang yg diikuti tragedi reaktor noklir. Kejahatan perbankan pd bank asing terpercaya. Gelombang ulat bulu. .... Apa lagi hal-hal diluar perkiraan yg akan terjadi? Apa pengaruhnya bagi bisnis/karier Anda? Bagaimana menyikapi hal-hal tak terduga? ...... Untuk itulah perlu alat SKENARIO KREATIF
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Wednesday, April 13, 2011

Wind of Changes 2010-2011

Pada dekade pertama milenium ini banyak terjadi mega-perubahan, megatrends yang terjadi di dunia.

Bencana yang menimpa reaktor nuklir Jepang bulan lalu, dinyatakan oleh pemerintahnya sudah setingkat dengan Chernobil di Rusia beberapa dekade yang lalu. Siapa sangka Jepang mengalami bencana nuklir untuk kedua kalinya, setelah nestapa yang dialaminya dengan Hiroshima dan Nagasaki tahun 40an.

Pada awal dekade kedua ini juga, entah bagaimana secara berantai ala domino tiba-tiba negara-negara Timur Tengah bergolak. Dimulai dengan perang saudara Sudan, reformasi (demo penggulingan kekuasaan) atas Husni Mubarak, tuntutan demokrasi di beberapa negara Arab, hingga aksi oposisi terhadap pemerintahan Khadafi yang kemudian menarik NATO untuk intervensi. (Risfan Munir, penulis buku Skenario Kreatif)



Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sunday, January 30, 2011

Belajar dari "Shaolin"

Shaolin, film yang dibintangi Andy Lau dan Jackie Chan yang baru saja diputar di Jakarta sungguh memberikan pelajaran yang baik dalam memahami skenario situasi negara.

Konflik Elite, Keserakahan dan Skenario Kehancuran

Kisah dimulai saat pasukan Jenderal Hou Jie (Andi Lau) bersama Panglima Cao Man (Nicholas Tse) mengejar musuhnya yang menguasasi daerah dimana kuil Shaolin berada. Hou Jie secara brutal memerintahkan anak buahnya untuk menghabisi setiap tentara musuhnya yang sudah menyerah itu. Dan, mengejar panglima lawan yang lari hingga ke dalam kuil Shaolin, yang seharusnya dihormati. Bahkan dia menembak pimpinan lawan yang telah menyerahkan peta hartanya, hingga pelurunya melukai biksu tua pemimpin kuil tersebut.

Kemenangan itu mendorong sang jenderal untuk menyingkirkan kakaknya sendiri, yang dianggap bermaksud menyingkirkan dia dan merampas harta dan teritorinya. Maka dia ajak Cao Man panglimanya untuk mengatur jamuan malam, seolah memenuhi harapan kakaknya yang ingin menjodohkan putra sang kakak dengan putrinya. Pada jamuan makan malam tersebut Jenderal Hou Jie bermaksud menembak sang kakak.

Dugaan Sang Jenderal meleset, ternyata bukannya menekannya sang kakak justru bermaksud pensiun dan meyerahkan seluruh kekuasaannya kepada Sang Jenderal. Tapi dasar keserakahan sudah menguasai pikiran Sang Jenderal, niat menghabisi kakaknya tetap dilaksanakan. Namun, diluar dugaannya lagi, pada saat yang sama tiba-tiba datang "pasukan siluman" yang menyerang tempat pertemuan tersebut. Ternyata Si Panglima yang diminta mengatur pertemuan tersebut telah berkhianat, dia yang mengundang pasukan siluman.

Akibat tragedi itu, sang kakak dan keluarganya habis. Sang Jenderal lari menyelamatkan keluarganya yang diburu pasukan siluman. Dalam keputus-asaan Sang Jenderal membawa putri tunggalnya yang terluka parah ke kuil Shaolin. Dengan menangis menghiba-hiba dia minta tolong para bhiksu yang pernah dia hina itu agar bisa menyembuhkan putri kesayangannya.

Sementara itu Panglima Cao Man berhasil merebut tahta, dan menyatakan Sang Jenderal sebagai pemberontak yang buron. Ternyata Cao Man bersekongkol dengan "kekuatan asing" yang memasoknya dengan puluhan senapan mesin, dengan syarat imbalan diperbolehkan membangun "rel kereta api" sebagai prasarana untuk mengangkut kekayaan sumber daya alam (SDA) dari teritori tersebut. Kebutuhan Cao Man akan senjata tambahan dan amunisinya, dipasok dengan imbalan menyetor harta rampasan dan SDA yang digali menggunakan tenaga manusia (SDM) para pemuda yang direkrut secara paksa dari desa-desa yang semuanya sudah semakin miskin karena diperas penguasa dari rezim yang silih berganti.

Samapi disini kisah ini menggambarkan betapa mudah dan cepatnya negara hancur karena konflik dan keserakahan para elit penguasanya.

Skenario dengan Kekuatan Kasih Sayang

Kehancuran, kebangkrutan, bahkan kematian putrinya telah membuat jenderal Huo Jie menjadi penumpang kuil Shaolin yang papa. Namun hati yang hancur berkeping-keping itu lambat laut mulai bisa disembuhkan dengan mengalami lingkungan kehidupan yang "ikhlas dan memaafkan" yang dia alaminya bersama biksu cantrik kuil Shaolin itu.

Rutin meditasi, hidup bersahaja dan melayani dengan ikut memasak bakpao untuk dibagikan kepada kaum miskin, serta latihan fisik kanuragan silat Shaolin - telah membersihkan hati Huo Jie dari keserakahan. Sifat Ikhlas telah menghaluskan budinya, mendorongnya menjadi "pelayan masyarakat."

Dengan spirit baru tersebut, diam-diam dia membantu membebaskan para pemuda dari kamp kerja paksa untuk bisa kembali pulang ke desanya.

Tindakan pelayanan itu akhirnya diketahui penguasa. Cao Man penguasa serakah itu memerintahkan untuk menyerang kuil Saolin, dan dia sendiri masuk kuil untuk duel dengan Huo Jie yang sudah menjadi biksu itu. Dalam duel ini Huo Jie yang sebetulnya lebih unggul selalu berusaha memberi kesempatan lawan (yang juga adiknya) itu untuk menghentikan serangan dan meninggalkan kuil. Namun, sekali lagi keserakahan, ketamakan telah menutupi hatinya. Sementara itu, melihat "perang saudara" tersebut Sang Penjajah melihat peluang. Maka dengan liciknya dia dan pasukan yang membawa banyak meriam ikut menyerang kuil, dan menghabisi kedua belah pihak. Semua kekuatan negeri hancur, dan sang koloniaah pemenangnya. Untung sebagian biksu masih sempat melihat situasi tersebut, dan akhirnya menghabisi pasukan kolonial yang menyerang.

Di akhir duel, Huo Jie justru berusaha menyelamatkan Cao Man dari runtuhan pilar yang jatuh dari atap kuil, yang berakibat justru dirinya yang tertimpa, hingga wafat. Pada titik inilah baru Cao Man sadar bahwa semua keserakahan dan culasnya telah menghancurkan keluarganya serta seluruh negeri.

Pelajaran:

Keserakahan, konflik, dan nafsu menghabisi lawan dari para elit pemimpin hasilnya pasti kehancuran. Mungkin justru pihak luar yang selalu diuntungkan.
Sebaliknya sifat ikhlas, memaafkan, welas asih, mengutamakan pelayanan publik yang bisa diharapkan untuk memperbaiki kesejahteraan dan merekatkan semua unsur bangsa.
Pesan sederhana, tetapi benar, dan mudah-mudahan yang sederhana inilah yang bisa masuk ke hati semua elite negeri yang kita cintai ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang melindungi bangsa dan negeri kita. (Risfan Munir)

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Thursday, January 13, 2011

Skenario Kawasan Timur Indonesia

Prof. A. Takdir Alamsyah menyampaikan tentang factor-faktor penentu Pembangunan Wilayh yang menyangkut 5D (3 Dimensi + Waktu + Kultur). Dan, saya mengusulkan tambah 2D (Decision maker; Driver/developer).

Seorang teman menyampaikan ide tentang perlunya membentuk Kaukus atau Forum (ada forum provinsi, yang dulu dimotori Fadel Muhammad), termasuk dimensi Decision-maker, atau stakeholders. Sedang Driver/mover, ini tak bisa dipungkiri adalah peran modal.

Lima D pertama bisa dibilang bisa diprediksi (predetermined factors), tapi dua dimensi terakhir termasuk (critical uncertainties) tak tentu, tergantung dinamika sikon dan pengambilan keputusan. Karena itu layak dibuat skenarionya.

Katakanlah ada kemungkinan Decision making process dari stakeholders bisa BAIK atau JELEK. Kemungkinan Aliran Investasi CEPAT atau LAMBAT.
Maka setidaknya situasi yang dihadapi KTI ada 4 kemungkinan:
1. Proses governance BAIK, Investasi CEPAT
2. Proses governance BAIK, Investasi LAMBAT
3. Proses governance JELEK, Investasi CEPAT
4. Proses governance JELEK, Investasi LAMBAT

Skenario 1, ideal, maka visi penataan ruang, pemerataan pembangunan, partisipasi masyarakat, sustainabel development mungkin dicapai. Asal kita bisa menyiapkan action-plan yang baik, karena kontrol oleh masyarakat juga jalan, kerjasama antar instansi/pihak jalan.

Skenario 2, karena governance bagus, tinggal memacu upaya mengundang investor, karena iklim usaha kondusif. Dari berbagai sumber kita tahu China dan Jepang sedang bersaing memperbaiki kinerja investasi mereka di wilayah kaya SDA, seperti KTI.

Skenario 3, awas, investasi datang dengan deras, tapi governance tidak siap. Pemda, Sektor jalan sendiri-sendiri "melayani" investor. Tanpa kerja sama, maka pola pembangunan yang terjadi sporadis, tak ada pemerataan. Lingkungan kian rusak, tanpa ada kontrol stakeholders yang efektif. Meningkatnya risiko protes-protes sosial karena ketidak-merataan, kerusakan lingkungan, dst.
Skenario 4, hopeless.

Bagaimana kesiapan rencana tata ruang, rencana pembangunan, rencana tingkat lokal dan komunitas dalam mengantisipasi keempat kondisi tsb. Ini tentu perlu antisipasi dan respons yang ber-7 Dimensi juga. Begitukah? Semoga menginspirasi diskusi lanjut.
[Risfan Munir, alumni of School of Architecture, Planning and Policy Development, Bandung Institute of Technology]
Powered by Telkomsel BlackBerry®