Sunday, January 30, 2011

Belajar dari "Shaolin"

Shaolin, film yang dibintangi Andy Lau dan Jackie Chan yang baru saja diputar di Jakarta sungguh memberikan pelajaran yang baik dalam memahami skenario situasi negara.

Konflik Elite, Keserakahan dan Skenario Kehancuran

Kisah dimulai saat pasukan Jenderal Hou Jie (Andi Lau) bersama Panglima Cao Man (Nicholas Tse) mengejar musuhnya yang menguasasi daerah dimana kuil Shaolin berada. Hou Jie secara brutal memerintahkan anak buahnya untuk menghabisi setiap tentara musuhnya yang sudah menyerah itu. Dan, mengejar panglima lawan yang lari hingga ke dalam kuil Shaolin, yang seharusnya dihormati. Bahkan dia menembak pimpinan lawan yang telah menyerahkan peta hartanya, hingga pelurunya melukai biksu tua pemimpin kuil tersebut.

Kemenangan itu mendorong sang jenderal untuk menyingkirkan kakaknya sendiri, yang dianggap bermaksud menyingkirkan dia dan merampas harta dan teritorinya. Maka dia ajak Cao Man panglimanya untuk mengatur jamuan malam, seolah memenuhi harapan kakaknya yang ingin menjodohkan putra sang kakak dengan putrinya. Pada jamuan makan malam tersebut Jenderal Hou Jie bermaksud menembak sang kakak.

Dugaan Sang Jenderal meleset, ternyata bukannya menekannya sang kakak justru bermaksud pensiun dan meyerahkan seluruh kekuasaannya kepada Sang Jenderal. Tapi dasar keserakahan sudah menguasai pikiran Sang Jenderal, niat menghabisi kakaknya tetap dilaksanakan. Namun, diluar dugaannya lagi, pada saat yang sama tiba-tiba datang "pasukan siluman" yang menyerang tempat pertemuan tersebut. Ternyata Si Panglima yang diminta mengatur pertemuan tersebut telah berkhianat, dia yang mengundang pasukan siluman.

Akibat tragedi itu, sang kakak dan keluarganya habis. Sang Jenderal lari menyelamatkan keluarganya yang diburu pasukan siluman. Dalam keputus-asaan Sang Jenderal membawa putri tunggalnya yang terluka parah ke kuil Shaolin. Dengan menangis menghiba-hiba dia minta tolong para bhiksu yang pernah dia hina itu agar bisa menyembuhkan putri kesayangannya.

Sementara itu Panglima Cao Man berhasil merebut tahta, dan menyatakan Sang Jenderal sebagai pemberontak yang buron. Ternyata Cao Man bersekongkol dengan "kekuatan asing" yang memasoknya dengan puluhan senapan mesin, dengan syarat imbalan diperbolehkan membangun "rel kereta api" sebagai prasarana untuk mengangkut kekayaan sumber daya alam (SDA) dari teritori tersebut. Kebutuhan Cao Man akan senjata tambahan dan amunisinya, dipasok dengan imbalan menyetor harta rampasan dan SDA yang digali menggunakan tenaga manusia (SDM) para pemuda yang direkrut secara paksa dari desa-desa yang semuanya sudah semakin miskin karena diperas penguasa dari rezim yang silih berganti.

Samapi disini kisah ini menggambarkan betapa mudah dan cepatnya negara hancur karena konflik dan keserakahan para elit penguasanya.

Skenario dengan Kekuatan Kasih Sayang

Kehancuran, kebangkrutan, bahkan kematian putrinya telah membuat jenderal Huo Jie menjadi penumpang kuil Shaolin yang papa. Namun hati yang hancur berkeping-keping itu lambat laut mulai bisa disembuhkan dengan mengalami lingkungan kehidupan yang "ikhlas dan memaafkan" yang dia alaminya bersama biksu cantrik kuil Shaolin itu.

Rutin meditasi, hidup bersahaja dan melayani dengan ikut memasak bakpao untuk dibagikan kepada kaum miskin, serta latihan fisik kanuragan silat Shaolin - telah membersihkan hati Huo Jie dari keserakahan. Sifat Ikhlas telah menghaluskan budinya, mendorongnya menjadi "pelayan masyarakat."

Dengan spirit baru tersebut, diam-diam dia membantu membebaskan para pemuda dari kamp kerja paksa untuk bisa kembali pulang ke desanya.

Tindakan pelayanan itu akhirnya diketahui penguasa. Cao Man penguasa serakah itu memerintahkan untuk menyerang kuil Saolin, dan dia sendiri masuk kuil untuk duel dengan Huo Jie yang sudah menjadi biksu itu. Dalam duel ini Huo Jie yang sebetulnya lebih unggul selalu berusaha memberi kesempatan lawan (yang juga adiknya) itu untuk menghentikan serangan dan meninggalkan kuil. Namun, sekali lagi keserakahan, ketamakan telah menutupi hatinya. Sementara itu, melihat "perang saudara" tersebut Sang Penjajah melihat peluang. Maka dengan liciknya dia dan pasukan yang membawa banyak meriam ikut menyerang kuil, dan menghabisi kedua belah pihak. Semua kekuatan negeri hancur, dan sang koloniaah pemenangnya. Untung sebagian biksu masih sempat melihat situasi tersebut, dan akhirnya menghabisi pasukan kolonial yang menyerang.

Di akhir duel, Huo Jie justru berusaha menyelamatkan Cao Man dari runtuhan pilar yang jatuh dari atap kuil, yang berakibat justru dirinya yang tertimpa, hingga wafat. Pada titik inilah baru Cao Man sadar bahwa semua keserakahan dan culasnya telah menghancurkan keluarganya serta seluruh negeri.

Pelajaran:

Keserakahan, konflik, dan nafsu menghabisi lawan dari para elit pemimpin hasilnya pasti kehancuran. Mungkin justru pihak luar yang selalu diuntungkan.
Sebaliknya sifat ikhlas, memaafkan, welas asih, mengutamakan pelayanan publik yang bisa diharapkan untuk memperbaiki kesejahteraan dan merekatkan semua unsur bangsa.
Pesan sederhana, tetapi benar, dan mudah-mudahan yang sederhana inilah yang bisa masuk ke hati semua elite negeri yang kita cintai ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang melindungi bangsa dan negeri kita. (Risfan Munir)

Powered by Telkomsel BlackBerry®

No comments:

Post a Comment